keikhlasan adalah sumber ketenangan yang terdapat didalam fikiran . .

Minggu, 13 November 2011

Tugas Reportase UTS


PROSESI AGUNG PERNIKAHAN GUSTI KANJENG RATU (GKR) BENDARA DAN KANJENG PANGERAN HARYO (KPH) YUDANEGARA

Oleh : Endah Meita Arbangati


Pada 16-19 Oktober 2011, masyarakat Yogyakarta menjadi saksi prosesi agung pernikahan putri bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Bendara dengan Kanjeng Pangeran Haryo Yudanegara yang akan menjadi sejarah tradisi keraton Yogyakarta yang hidup dan bisa dinikmati oleh masyarakat. Bukan hanya masyarakat Yogyakarta yang ingin menyaksikan, tetapi prosesi pernikahan putri keraton itu juga mendapat perhatian yang lebih dari masyarakat Indonesia bahkan Dunia, terbukti dengan adanya wartawan asing yang meliput prosesi pernikahan agung tersebut. Seluruh prosesi akan di dokumentasikan menjadi film dokumenter berdurasi sekitar satu jam.
Setiap rangkaian ritual pernikahan, termasuk penganugerahan nama dan gelar didokumentasikan, seperti prosesi nyantri bagi pengantin laki-laki di Bangsal Kasatriyan untuk mulai mengenal tata budaya keraton, prosesi siraman, midodareni, tantingan (saat Sultan menanyakan kembali kemantapan hati kedua pasangan untuk menikah), upacara ijab kabul di Masjid Parepen, upacara panggih (saat pengantin laki-laki ditemukan dengan pengantin perempuan), upacara pondongan (pengantin laki-laki membopong pengantin perempuan), hingga prosesi resepsi di Kepatihan.
Prosesi demi prosesi dilakukan oleh kedua mempelai sesuai dengan tradisi atau adat istiadat yang ada di keraton Yogyakarta yang harus dilaksanakan. Seperti bulan Juli 2011 kedua calon mempelai menjalani prosesi pemberian nama dan gelar baru dari Sultan yang merupakan salah satu syarat bagi putra atau putri keraton yang akan menikah yang dimaksudkan agar kedua calon pengantin mewarisi keutamaan-keutamaan para leluhur mereka. Putri Sultan yang awalnya bernama Gusti Raden Ajeng (GRAj) Nurastuti Wijareni mendapat gelar baru Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara, sedangkan Achmad Ubaidillah mendapat gelar dan nama baru Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Yudanegara.
Terlepas dari segala macam tata cara dan adat istiadat, Keraton Yogyakarta merupakan komunitas yang sangat terbuka dengan pihak luar. Sebagai contoh, calon pengantin laki-laki putri bungsu Sultan justru berasal dari kalangan luar keraton.
Calon menantu Sultan, Achmad Ubaidillah, yang sekarang bergelar KPH Yudanegara, adalah pria kelahiran Lampung, 26 Oktober 1981. Ubai (demikian panggilannya) sekarang bekerja sebagai Kepala Subbidang Media Cetak Sekretaris Wakil Presiden.
Prosesi inti pernikahan yang berlangsung selama empat hari empat malam, mulai 16 Oktober hingga 19 Oktober 2011 akan berlangsung di dua kompleks yang berbeda, yaitu keraton Yogyakarta dan Kepatihan.
Beberapa ritual atau prosesi pernikahan kedua mempelai antara lain :
  1. 16 Oktober 2011 digelar ritual nyantri kedua calon pengantin
Sebelum prosesi nyantri kedua calon pengantin dilaksanakan, terlebih dahulu digelar serangkaian upacara pelangkahan. Prosesi ini dilakukan karena GKR Bendara lebih dulu menikah ketimbang kakaknya, GRAj Nur Abrajuwita.
Pada prosesi pelangkahan tersebut, Sri Sultan Hamengkubuwono X yang didampingi permaisuri, Ratu Hemas, menyaksikan secara langsung penyerahan sejumlah barang yang disimbolkan pemberian dua sisir pisang yang diletakkan pada wadah. Sejumlah barang pelangkah itu seperti barang keperluan wanita sehari-hari dan perhiasan emas diserahkan GKR Bendara pada GRAj Abra, disaksikan saudara tertua mereka GKR Pambayun.
Setelah memberikan barang pelangkah, GKR Bendara melakukan upacara ngabekten ( sungkem ) pada Sultan, dilanjutkan pada GKR Hemas.
Setelah menjalani proses langkahan dan ngabekten, Jeng Reni menjalani proses pingitan atau nyantri. GKR Hemas mengantarnya langsung, dengan diapit dua saudara sepupu dan beberapa temannya menuju Bangsal Sekar Kedhaton.
Tahapan nyantri juga dilakukan calon pengantin laki-laki. Achmad Ubaidillah atau KPH Yudanegara bersama keluarga yang sebelumnya tinggal di Ndalem Mangkubumen, dijemput menggunakan kereta dan dikawal prajurit berkuda melewati kawasan Ngasem menuju Magangan.
Di Regol Magangan, rombongan KPH Yudanegara beserta keluarga disambut kerabat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk selanjutnya menuju Bangsal Kasatriyan. Di depan Bangsal Kasatriyan, rombongan calon pengantin putra disambut adik sultan, KGPH Hadiwinoto.
  1. 17 Oktober 2011 prosesi siraman kedua calon pengantin
Sehari menjelang ijab-kabul, kedua calon mempelai harus menjalani prosesi siraman yang bertujuan agar calon pengantin menjadi suci, bersih dan bercahaya. Berbeda dengan kegiatan siraman masyarakat pada umumnya, ritual siraman putri keraton ini akan menggunakan air yang diambil dari tujuh sumur yang secara khusus diambil dari mata air yang ada di sekitar keraton. Air tersebut diambil dari Ndalem Bangsal Sekar Kedhaton, Ndalem Regol Manikhantoyo, Ndalem Bangsal Manis, Ndalem Regol Gapura, Ndalem Regol Kasatriyan, Ndalem Kasatriyan Kilen, dan di Gadri Kagungan Ndalem Kasatriyan. Prosesi siraman dilakukan kedua calon mempelai ditempat yang berbeda. GKR Bendara di Bangsal Sekar Kedhaton sedangkan KPH Yudanegara di Bangsal Kasatriyan tetapi dengan menggunakan air yang sama.
  1. 18 Oktober 2011 prosesi inti pernikahan
Selasa, 18 Oktober 2011 merupakan prosesi inti pernikahan agung GKR Bendara dengan KPH Yudanegara. Prosesi akad nikah pengantin laki-laki dilaksanakan di Masjid Parepen, kemudian dilanjutkan upacara panggih yaitu pertemuan pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan di Bangsal Kencono serta pemberian ucapan selamat dari para tamu di emperan Bangsal Proboyekso yang disusul resepsi di Kepatihan.
Tidak seperti pernikahan tiga putri Sultan sebelumnya, resepsi putri kelima Raja Keraton Yogyakarta ini sedikit berbeda karena mengulangi tradisi pernikahan zaman Sultan Hamengku Buwono VII yang memerintah pada periode tahun 1877-1920, di mana resepsi pernikahan digelar di Kepatihan, tempat tinggal Patih Danurejo yang kini sudah berubah fungsi menjadi Kompleks Kantor Gubernur Provinsi DIY.
Untuk menuju tempat resepsi di Kepatihan, kedua pengantin diarak dari Keraton Yogyakarta menuju Kepatihan menggunakan Kereta Kanjeng Kyai Jatayu. Di sinilah, sepasang pengantin akan diperkenalkan kepada masyarakat Yogyakarta. Kereta pengantin juga akan diiringi kereta-kereta lain yang membawa kerabat serta prajurit keraton. Akan tampil pula kereta keraton bernama Permili yang mengangkut para penari yang akan tampil di hadapan tamu undangan di Kepatihan yang akan menampilkan dua tarian, yaitu Bedoyo Temanten dan Bedoyo Lawung Ageng sesuai dengan tradisi Keraton Yogyakarta.
Selama prosesi kirab, jalan disekitar Malioboro ditutup sementara antara lain dimulai dari Keraton, Jalan Tri Kora, Jalan A. Yani, sepanjang Jalan Malioboro hingga kompleks Kepatihan, pemprov DIY. Warga Yogyakarta banyak yang sukarela menyediakan angkringan dan layar dibeberapa titik lokasi, agar masyarakat luas bisa menyaksikan gelaran seni dan prosesi pernikahan tersebut.
  1. 19 Oktober 2011 pamitan kedua mempelai kepada orang tua Sri Sultan Hamengkubuwobo X dan GKR Hemas
Prosesi pamitan yang berlangsung di Gedhong Jene Kraton Yogyakarta ini sekaligus menandai selesainya seluruh prosesi Pernikahan Agung Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat yang harus dijalani pasangan suami istri bahagia tersebut. Prosesi pamitan diawali dengan penjemputan pengantin pria KPH Yudanegara oleh adik Sultan, GBPH Prabukusumo dari komplek Ksatriyan, kemudian dibawa ke Gedhong Jene bersama istri tercinta menemui Sultan dan permaisuri untuk berpamitan, sekaligus menerima wejangan tentang bagaimana hidup berumah tangga dan mengarungi kehidupan agar perkawinan langgeng.


Senin, 31 Oktober 2011

Sastra Angkatan 30-an

·         Cirinya adalah
1.      Bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia modern,
2.      Temanya tidak hanya tentang adat atau kawin paksa, tetapi mencakup masalah yang kompleks, seperti emansipasi wanita, kehidupan kaum intelek, dan sebagainya,
3.      Bentuk puisinya adalah puisi bebas, mementingkan keindahan bahasa, dan mulai digemari bentuk baru yang disebut soneta, yaitu puisi dari Italia yang terdiri dari 14 baris,
4.      Pengaruh barat terasa sekali, terutama dari Angkatan ’80 Belanda,
5.      Aliran yang dianut adalah romantik idealisme, dan
6.      Setting yang menonjol adalah masyarakat penjajahan.
·         Bentuk karya sastra angkatan pujangga baru yaitu:
A.    Puisi
Ciri-ciri puisi pada angkatan pujangga baru yaitu :
·         Puisinya berbentuk puisi baru, bukan pantun dan syair lagi,
·         Bentuknya lebih bebas daripada puisi lama baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima,
·         Persajakan (rima) merupakan salah satu sarana kepuitisan utama,
·         Bahasa kiasan utama ialah perbandingan,
·         Pilihan kata-katanya diwarnai dengan kata-kata yang indah,
·         Hubungan antara kalimat jelas dan hampir tidak ada kata-kata yang ambigu,
·         Mengekspresikan perasaan, pelukisan alam yang indah, dan tentram.
  1. Prosa
Ciri-ciri puisi pada angkatan pujangga baru yaitu :
    • Berbentuk prosa baru yang bersifat dinamis (senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat),
    • Masalah yang diangkat adalah masalah kehidupan masyarakat sehari-hari,
    • Alurnya lurus,
    • Tidak banyak sisipan-sisipan cerita sehingga alurnya menjadi lebih erat,
    • Teknik perwatakannya tidak menggunakan analisis langsung. Deskripsi fisik sudah sedikit,
    • Pusat pengisahannya menggunakan metode orang ketiga,
    • Gaya bahasanya sudah tidak menggunakan perumpamaan, pepatah, dan peribahasa,
    • Bentuknya roman, cerpen, novel, kisah, drama. Berjejak di dunia yang nyata, berdasarkan kebenaran dan kenyataan,
    • Terutama dipengaruhi oleh kesusastraan Barat
    • Dipengaruhi siapa pengarangnya karena dinyatakan dengan jelas, dan
    • Tertulis

Selasa, 11 Oktober 2011

Belajar

hari ini belajar bikin akun blog nich temend-temend..
asyikk juga ya bikin blog...
hahahahaaa alay banget......